
Play/Download
Sambungan Dari Bagian 2
Gadis itu lalu melangkah mundur dengan menggigit bibir bawahnya. Matanya
menemukan mata Ray. Pemuda itu menundukkan kepalanya dan menyeringai.
"Kukira kita akan pergi makan di luar?" gumam Ray.
Tak ada sahutan. Ray mengangkat kepalanya, tak lagi menemukan sosok
Reni. Tertawa sendiri, pemuda itu melangkahkan kakinya menuju teras. Ia
bukannya tak tahu apa yang diinginkan Reni darinya saat itu. Bahkan ia
sudah menduganya sejak melihat Reni hanya mengenakan kaus tanpa lengan
dan celana pendek selutut.
Bercinta, seperti yang diinginkan gadis-gadis lain darinya.
Seperti pula kata Jay suatu saat padanya, "Kukira gadis-gadis itu cuman
rindu sama penismu. Tak lebih dari itu." Dan meskipun Ray yakin bahwa
dirinya punya lebih dari sekedar permainan seks yang memuaskan, tetap
saja kata-kata Jay terngiang di telinganya setiap saat seorang gadis
mengajaknya bercinta.
Ray mendapati Reni bersandar di dinding samping pintu ruang tamu. Satu
dekapan dan lumatan di bibirnya, Reni lalu berbisik, "Jangan di sini.
Nanti dilihat si Mbok."
Gadis itu lalu merangkul lengan Ray dan mengajaknya lebih masuk ke dalam
rumah. Tak ada orang sama sekali hari itu selain si Mbok yang entah di
mana. Semua sedang berlibur ke Bali. Hanya Reni yang tertinggal,
menghadapi ujian akhir semester, dan tentu saja.. menunggu kedatangan
Ray.
Bagi Ray, Reni termasuk salah seorang gadis yang paling menyenangkan.
Dibandingkan dengan yang lain, Reni memiliki jiwa lebih besar. Gadis itu
bisa menerima keadaan seburuk apapun yang terjadi dalam hubungan antara
dirinya dengan Ray. Seperti yang terjadi malam itu, saat handphone Ray
mendadak berbunyi.
"Ugh, siapa sih," gumam Ray, mengulurkan tangannya meraih handphone di
lantai. Gerakan pinggul pemuda itu terhenti, dan Reni, yang masih
tertindih berat tubuh Ray membuka matanya.
"Halo? Ah, wazzup, Yen? Kapan? Oh, okay. Lalu?"
Reni terlihat menunggu dengan sabar, matanya menatap mata Ray yang saat itu memandang lurus ke depan.
"Hmm. Lalu? Eh, sebentar," Ray menundukkan kepalanya, tersenyum menatap
seringai di wajah Reni. Pemuda itu lalu mengecup bibir gadis di bawahnya
dan berbisik lirih setelah menjauhkan handphone, "Kamu bandel."
"Ssshh," Reni berbisik, "terusin dulu teleponnya, aku pijatin dari sini."
Ray terkekeh pelan, lalu mengangkat kepalanya kembali. Reni masih tetap
terlihat tak bergerak. Hanya senyuman nakalnya yang tersungging di
wajah.
"Halo? Oh, sori. Ada teman. Iya, cewek. Nah? Hahaha. Lanjutin ceritanya."
Ray melanjutkan perbincangannya, sementara mata Reni tampak perlahan
memejam. Bibir bawah gadis itu tergigit beberapa saat kemudian, dan dua
lengannya terangkat memeluk pinggang Ray. Lima detik sebelum tubuh gadis
itu menegang, erangan tertahan keluar dari bibirnya.
"Oh. Bisa. Bisa. Udah dulu, ya? Oke, minggu depan? Iya. Sip. See ya!"
Ray mematikan handphonenya. Pemuda itu menatap wajah Reni, tersenyum
saat menyaksikan butir-butir kecil keringat di kening si gadis.
"Gadis bandel," bisik Ray, "kamu ngga nyisain buat aku."
Reni membuka matanya, balas tersenyum tipis.
"Siapa suruh telepon?"
"Terus. Sudah licin begini?" Ray berkata sambil menyeringai. Reni
tertawa, menarik kepala Ray ke dadanya. Ray menggerak-gerakkan
pinggulnya perlahan.
"Ray.."
"Ya?"
"Ngga usah keluar kalau ngga mood."
"Hmm? Kenapa bilang begitu?"
"I know you, lah. It doesn't matter, kan?"
Ray tertawa, mengangkat tubuhnya dan berguling ke samping tubuh Reni. "Yah, it doen't matter at all," bisik pemuda itu,
lalu memejamkan matanya. Reni beringsut, meletakkan kepalanya di atas dada Ray.
"It's my birthday..," Reni berbisik. Ray menggumam mengiyakan.
"Kamu ada di sini..," Reni berbisik lagi. Ray tak menyahut, hanya memainkan jemarinya di punggung si gadis.
"Dan kamu ngga ejakulasi.."
Sampai di situ Ray membuka mulutnya dan terkekeh.
"Hahaha. Katanya you know me? Mestinya aku yang merasa bersalah, soalnya kamu klimaks waktu aku sedang teleponan."
"Aku sengaja kok."
"Wah? Hahaha. Emang bisa disengaja?"
"Bisa, lah. Tapi kamu ngga masalah, kan?"
"Jujur aja, enaknya jadi kurang. Trus.."
"Trus kamu jadi ngga mood. Trus akhirnya kamu malah jadi gila gara-gara
kepaksa dan ngga pingin membuat aku ngerasa bersalah. Trus akhirnya kamu
bikin aku sakit. Trus kamu bakalan minta maaf. Gitu kan?"
Ray terkekeh sekali lagi, tapi tak menjawab tuduhan si gadis padanya.
Mereka berdua terdiam beberapa saat lamanya. Reni meraba penis Ray, dan
tersenyum tipis saat menyadari penis itu sudah melemas.
"Bisa ya, orang kok ngga punya rasa?" tanya Reni, memecah keheningan.
"Siapa?" sahut Ray, "Aku? Aku punya kok."
"Bertaruh, kamu ngga pernah make waktu sedang make love."
Ray terdiam beberapa saat dan berkata, "Mungkin. Terkadang ngga juga."
"Kamu menikmati ngga sih?"
"Tentu saja."
"Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu nikmati?" tanya Reni sekali lagi,
mengangkat tubuhnya dan berbaring miring sambil menatap wajah Ray. Mata
pemuda itu masih terpejam, tapi bibirnya tersenyum.
"Aku? Aku merasa enak. Itu saja. Apa yang aku nikmati? Aku menikmati
raut wajahmu. Erangan kamu. Desahan kamu. Respons kamu. Itu
menyenangkan."
"Hanya itu?" Reni tersenyum, "Kalau kamu ejakulasi? Apa artinya?"
"Artinya?" Ray berkata, membuka matanya dan mengangkat lengan, lalu menggunakan telunjuknya untuk menyentuh pelipis,
"Artinya itu adalah sensorik. Bukan motorik. Manusia kan punya saraf yang tak bisa dikontrol oleh otak."
"Jadi kalau ngga salah, kamu sebetulnya ngga mau ejakulasi?"
Ray tertawa sebelum menjawab, "Bagaimana kalau dikatakan, aku tak pernah mempermasalahkannya? Kurasa itu lebih baik."
"Apa itu? Gengsi? Atau memang kamu.."
"Katakanlah aku lebih bisa mengontrol diriku sendiri," sela Ray, matanya
melirik mata gadis di sampingnya. Senyuman masih tersungging di bibir
pemuda itu. Reni menghela nafasnya dan kembali meletakkan kepalanya di
dada Ray.
"Perbincangan yang ngga mutu. Toh semuanya akan kembali pada pertanyaan,
siapakah aku buat kamu," bisik Reni lirih. Ray tak menanggapi
pernyataan itu.
"Ray.."
"Apa?"
"Boleh aku minta hadiah ulang tahunku?"
"Hmm..oke. Apa itu?"
"Sesuatu yang ngga pernah kamu berikan sama gadis lain. Kalaupun pernah, aku ingin jadi yang kedua setelah gadis itu."
"Ren.."
"Ngga. Bukan hubungan yang terikat. Aku tahu kamu ngga suka. Aku juga ngga yakin aku bakal jadi nomor dua."
"Aku sudah bisa menduganya."
"Oh ya? Apa sih?"
"Celana dalamku?"
Reni terkekeh, menggigit dada Ray manja. "Bukan itu, bego."
Ray ikut tertawa, "Hahaha. Lalu apa?"
"Perasaan kamu. Semalam saja."
"Hmm," Ray menggumam, "itu susah."
"Bahkan untuk hadiah ulang tahunku? Walaupun hanya semalam?"
"Yap."
Reni terdiam beberapa saat lamanya, sebelum gadis itu menekan tubuhnya lebih merapat ke tubuh Ray.
"Kalau begitu, peluk aku sampai jam dua belas. Jangan lepaskan aku?"
Ray tersenyum dan berbisik, "Tentu."
Lima belas menit lamanya, sebelum Reni berbisik.
"Ray, bersyukurlah aku bukan cewek yang keras kepala."
Ray menganggukkan kepalanya.
"Kamu telepon aku besok?" tanya Reni dari balik pagar.
Ray menganggukkan kepalanya, "Iya. Tapi kalau ngga sibuk, ya?"
"Aku tebak, pasti besok malam kamu ada kerjaan sama cewek lain."
Ray terkekeh dan mengangkat bahu, "Ngga tahu."
"Iya. Apa urusanku juga," senyum Reni, "sudah, pulang sana."
"Ren..," Ray memanggil sebelum masuk ke dalam mobil.
"Apa, Ray?" Reni mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk.
"Kamu tunggu setengah jam?"
"Buat apa?"
"Lihat saja nanti," senyum Ray, mengedipkan mata nakal, lalu masuk ke dalam mobil, meninggalkan Reni termangu.
Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Ray berhenti di depan rumah
Reni. Ray tersenyum saat mendapati gadis itu masih menunggunya di teras.
Reni menghampiri Ray dengan senyum di bibir, tapi Ray masih bisa
melihat kantung mata milik si gadis yang membesar.
"Reni," ucap Ray, menatap mata gadis itu dari balik terali pagar.
Beberapa lamanya mereka saling berpandangan, sampai akhirnya Ray
menyeringai. Pemuda itu merogoh sesuatu dari balik bajunya dan
mengeluarkan sekuntum bunga mawar berwarna merah darah yang masih segar.
Bibir Reni sedikit terbuka saat Ray menyodorkan bunga itu melewati
terali.
"Ini," ucap Ray sambil tersenyum," sesuatu yang hanya pernah kuberikan
pada satu orang gadis sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu, tak ada
seorangpun yang layak menerimanya."
Reni meraih bunga itu dengan jemari yang sedikit bergetar. Ray sekarang
bisa melihat bulir-bulir air mata mengalir di pipi si gadis. Ah wanita,
pikir Ray dalam hatinya, seberapa keras kepalanya kah kalian dalam
urusan cinta? Seberapa luas hati kalian dalam menghadapinya?
"Aku ingin dipeluk..," bisik Reni, memainkan tangkai bunga mawar di tangannya.
"Jangan," bisik Ray, mengulurkan tangan dan meraba batang hidung Reni.
"Ray.. kenapa aku?"
Ray terkekeh dan berkata, "Katakanlah kamu satu dari sekian banyak gadis
yang berulang tahun bersamaku, tapi satu-satunya yang berani meminta
sesuatu sebagai hadiah ulang tahunnya."
Usai berkata demikian Ray membalikkan tubuh dan masuk ke dalam mobil.
Reni tak mengatakan apapun, tak juga menatap kepergian Ray.
Di dalam mobil, sepuluh menit kemudian, Ray mendengar handphone-nya berbunyi lagi. Tersenyum, pemuda itu menyapa, "Halo, Ren."
"Ray brengsek! Kamu buat aku jatuh cinta! Ayo! Balas cintaku!!"
"Ren, tunggu sampai tahun depan."
"Sialaann!! Awas kalau ketemu lagi!!"
Ray tertawa tebahak-bahak.
Reni juga terdengar tertawa dari seberang.
Tertawa bahagia, kah, Reni? Atau tertawa sedih? Atau bahkan dua-duanya?
Ella, girl with brain
Kamis kelabu, setidaknya itu yang ada di benak Ray siang itu. Langit
masih mendung di atas kepalanya. Semua pekerjaan sudah selesai, bahkan
sebelum waktu yang diharapkan Ray untuk menyelesaikan segalanya. Pak
David tadi sudah menyuruhnya pulang dan istirahat, tapi Ray mana mau
duduk diam di rumah tanpa melakukan apapun. Bagi Ray, duduk diam dan
menunggu sebuah peristiwa terjadi dalam hidup adalah sebuah kesia-siaan,
sementara dengan mencari seseorang akan mendapatkan lebih banyak. Itu
berarti hari ini ia harus memburu salah seorang dari sekian banyak teman
wanitanya, sebab hari itu ia tak ada janji.
Dari jauh Ray bisa melihat Rusdi, lagi-lagi, berkoar pada Ruri, pegawai
customer service yang baru itu. Ray mencibir dan menebak-nebak, apa yang
sedang dibualkan Rusdi pada gadis malang itu. Mungkin masalah penisnya
yang sebesar meriam? Atau kekasihnya yang berjumlah ribuan?
"Hei, Ray, kenapa tertawa?" seseorang menyapanya, membuat pemuda itu
sedikit terkejut. Ray menoleh dan melihat Ella sudah berdiri di
sampingnya. Gadis itu tampak manis dengan kaus krem berkerah rendah dan
jas hitamnya.
"Itu, si Rusdi. Aku heran kok ada saja yang betah diajak ngobrol sama dia."
Ella menoleh ke arah Rusdi, lalu menutup mulutnya dan tertawa.
"Iya. Tapi biarlah. Si Rusdi kan butuh pelampiasan juga."
Ray terkekeh, "Paling-paling efeknya sebulan. Namanya juga omong besar."
"Jangan begitu, Ray. Si Rusdi ada benarnya juga kadang-kadang."
"Kadang-kadang, kan?"
Ella tertawa lagi, sebelum meletakkan sebuah map berwarna merah di meja Ray.
"Ini, kamu coba nilai konsepnya Joko."
"Wah, kenapa aku? Pasti deh ulah Pak David."
"Siapa suruh kamu bengong duluan."
Ray tersenyum, "Iya. Ngga ada kerjaan juga. Okelah. Untuk kapan?"
"Mestinya sih sudah kelar. Tapi biasalah, Pak David, pasti tanya kamu dulu."
"Heran, memangnya aku dukun?"
"Dia kan cinta mati sama kamu."
"Siapa? Pak David? Amit-amit. Mending sama kamu."
Ella melirik dengan senyum dikulum. Sesaat kemudian gadis itu menepuk
pundak Ray dan berkata, "Jangan begitu. Kamu kan bukan Rusdi."
"Eh, maksudnya apa?"
"Ya, kamu kan ngga pernah omong kosong."
"Hahaha," Ray tertawa, "masa kamu jadi ge-er gitu?"
"Ngga. Siapa juga yang mau sama kamu, Ray?" cibir Ella.
"Lalu maksudnya aku bukan Rusdi tadi?"
"Ya, kalau-kalau saja kamu ngomong sama gadis lain selain aku."
"Kenapa dengan kamu?"
"Ayolah, Ray. Sejak pertama kali kamu bekerja di sini, aku sudah tahu
kalau kamu punya tato di atas kepala, yang tulisannya: MAUT," Ella
berkata sembari telunjuk kanannya menulis di udara.
Ray terkekeh, "Hahaha. Jadi itu yang buat kamu yakin kalau kamu ngga bakalan ge-er sama kata-kataku?"
"Yap. Benar sekali."
"Tapi mau make love?"
"Hih. Sopan sedikit, Ray. Sudah, ah," Ella membalikkan tubuh dan berlalu
dengan alis berkerut. Ray tersenyum, memandangi punggung si gadis
beberapa saat lamanya. Setelah itu Ray mengangkat bahunya.
"Huh, aku juga ngga mau dengan kamu," gumamnya lalu mulai memeriksa
arsip di dalam map merah. Sesaat kemudian pemuda itu sudah sibuk dengan
imajinasinya. Lagipula itu pekerjaannya. Berimajinasi.
Ella adalah seorang gadis berjiwa konservatif, setidaknya itu yang
didengar Ray saat pertama kali menginjakkan kaki di kantor barunya.
Sebetulnya Ray merasa sayang, sebab tanpa kacamata minus empatnya, Ella
sebenarnya cukup manis. Kulit gadis itu cokelat muda, tidak terlalu
terang, dan tidak terlalu gelap. Wajahnya bulat dengan hidung arabic
yang mancung. Kalau orang bisa melihat lebih cermat, maka mereka pasti
bisa menemukan lingkaran hitam halus yang mengelilingi mata Ella. Bibir
gadis itu tipis, dan dua gigi kampaknya yang tampak saat ia berbicara
menjadi daya tarik tersendiri. Hanya saja, sifatnya yang serba tertutup
dan cenderung sinical membuat banyak orang kehilangan hasrat untuk
mengenalnya lebih jauh. Bagi orang-orang di kantor, Ella cuma seorang
sekretaris penerus kata-kata Pak David, itu juga diterima karena
ketegasannya menyampaikan mandat Boss.
Siapa sih yang tidak memikirkan sosok sekretaris sebagai sosok yang
cantik, supel, dan pandai bercinta? Melihat Ella, mungkin orang-orang
yang berpikiran demikian terpaksa merevisi pendapatnya. Bahkan Rusdi,
yang dikira Ray sebangsa omnivora wanita, pernah berkata, "Ella?
Gampangan ngedapetin Nana."
Itu memang katanya Rusdi, sebelum ia dan Ray mendapat tugas ke Jakarta
untuk mengawasi salah satu syuting iklan yang 'kebetulan' dibintangi
sang artis. Buktinya, Rusdi hanya cengengesan, sementara Ray langsung
berhasil mengajak si artis jalan-jalan seharian. Yang pasti, semua orang
bakal berkata, "Ella? Wah, ngga napsu!"
Tak terkecuali juga Ray.
Bersambung Ke Bagian 4