
Play/Download
Hanya satu membran elastis yang membedakan antara kebahagiaan dan
kesedihan. Sahabat Ray, Dita, pernah berkata, "Orang hanya bahagia saat
duka itu tiada, dan berduka saat bahagia itu hilang. Tak ada bahagia,
maka tak ada susah, begitu pun sebaliknya. Hukum alam yang mudah
dicerna. Tapi apa yang terjadi bila ada seseorang yang ingin dan bahkan
mampu berada di ambang batas antara keduanya?"
Orang itu adalah orang paling cerdas di dunia. Sekaligus menjadi orang terdingin di dunia. A human without soul. A zombie.
Cynthia, girl with love
Yang bilang kalau Ray adalah maniak seks, berarti ia salah besar. Ray
bukan maniak. Ia tidak pernah mencuri pakaian dalam, ataupun mengoleksi
ribuan film dan gambar porno. Ia tidak masturbasi tiap sepuluh menit.
Dan ia tak pernah memperkosa. Tapi yang mengatakan Ray menggemari seks,
berarti ia benar. Ray menikmati seks, seperti ia menikmati makan dan
minum. Hanya tidak terlalu, secukupnya saja.
Cynthia hanya tertawa, bangkit dari tempat tidur, lalu setengah menyeret
selimut melangkah menuju kamar mandi. Ray menatap punggung mulus gadis
itu dengan tersenyum. Cynthia memang pasangan yang menyenangkan,
setidaknya sampai tadi pagi. Gadis itu tak pernah mengeluh dan tak
pernah menuntut lebih dalam hubungan mereka. Just sex, itu yang mereka
sepakati saat pertama kali mereka bercinta sebulan yang lalu. Dan
Cynthia cukup bisa memegang komitmennya, meskipun Ray tak jarang
mendengar gadis itu mengigau dalam tidur dan berbisik,
"Jangan pergi.."
Gadis-gadis itu mencintainya. Mencintai kehangatannya. Bukan just sex,
meskipun itu yang mereka setujui mula-mula. Mereka yang sudah pernah
dipeluknya semalaman tanpa bercinta. Ray tahu itu. Tapi terikat bukan
sesuatu yang diinginkannya, dan ia selalu menekankan pada gadis-gadis
itu untuk paham bahwa ia tak bisa membalas cinta mereka. Terkadang Ray
merasa bersalah, tapi itulah dirinya.
Ray bangkit dari tempat tidur, mematikan rokok yang masih tersisa
setengah. Tadi pagi, setelah Cynthia membangunkannya dengan mengulum
penisnya, setelah mereka bercinta, gadis itu memulai perbincangan yang
menyedihkan.
"Ray, I think I'm stupid."
"Stupid?"
"Ya. Sometimes you make me feel like I can't live without you."
"Wajar."
"See? Bahkan aku ngga bisa marah walau kamu cuman nanggapin begitu."
"Lalu? Aku bukan seorang yang romantis. Dan kurasa perasaan itu wajar datang setelah make love."
"Oh ya? Kamu juga begitu? Kurasa tidak. Kamu punya banyak sekali wanita
di hidupmu. Aku mungkin cuman salah satu teman semalam. Mungkin akulah
si Senin, dan si anu jadi si Selasa. Lalu si Kamis."
"Lalu di mana stupid-nya?"
"Stupid-nya? Because I let it be."
"What? The feeling? So don't be."
"How? Aku bukan kamu. Aku ngga punya segudang harem. Aku cukup satu."
"Ya, blame me for that."
"You talk like it's an easy thing to do."
"Semua mudah kalau mau."
"Aku bukan maniak."
"Aku juga bukan."
Dan Cynthia terdiam, memainkan jemarinya di dada telanjang Ray. Sebelum akhirnya mengatai Ray sebagai maniak seks.
Ray cukup kecewa dengan perbincangan itu. Itu berarti Cynthia sudah
memakai perasaannya sebagai seorang wanita, dan bagi Ray tak ada yang
paling merepotkan daripada mengalihkan perasaan itu dari si gadis. Lalu
hanya tersisa dua jalan, yang pertama adalah meninggalkan Cynthia
sebelum gadis itu bertambah bodoh, dan yang kedua membicarakan baik-baik
dengan resiko mengarah ke jalan pertama. Bagaimanapun juga, kehilangan
Cynthia adalah sesuatu yang patut disayangkan.
"Cyn, boleh ikut?" Ray berbisik di balik tirai plastik.
"Jangan," terdengar suara Cynthia di sela gemerisik air dari shower.
Ray tak mengatakan apapun. Lalu perlahan ia mendengar suara isak tangis dari balik tirai. "Cyn, jangan begitu," ucap
Ray, meraba tirai dengan jemarinya.
"Kenapa ngga pulang saja. Aku sedang bodoh. Aku ngga mau dilihat siapapun."
"Cyn.."
"Seks nikmat, kan? Aku hanya pemberi kenikmatan, kan? Iya. Begitu juga
kamu. Tapi aku sedang bodoh, sampai lupa hal itu. Jangan tertawa, Ray.
Jangan tertawa.."
"Kamu kenapa sih? Dulu-dulu ngga pernah seperti ini?"
Lama tak ada sahutan dari balik tirai. Suara air dari shower dan isak
lamat-lamat menjadi pengisi kesunyian antara Ray dan Cynthia.
"Ray..Albert ngelamar aku ke Papa. Kamu kira apa yang harus kukatakan?"
Ray hanya diam. Pemuda itu membayangkan Albert, pemuda bertubuh tambun
bermata sipit, yang cinta buta pada Cynthia. Tidak bahkan Albert
menjauhi Cynthia, setelah si gadis mengatakan bahwa ia sudah tidak
perawan sejak SMA. Bahkan Albert semakin bertekad untuk menunjukkan
cinta tulusnya pada Cynthia. Dan sikap keras kepala Albert pula lah yang
membuat Cynthia lebih memilih menghilang bersama Ray, daripada
menghadapi Albert di rumahnya.
"Katakan apa yang ada di hatimu," bisik Ray, merasa sedikit kecewa.
"Apa yang bisa kukatakan? Kalau aku sudah punya kamu? Kalau aku akan
membayar semua hutang budi Papa padanya kelak? Ray, aku tidak berasal
dari keluarga yang bebas. Tidak se-naif itu.. tidak se-naif itu.."
"Cyn.."
"Lagipula, siapa kamu? Who the hell are you?"
"Kamu kok jadi bodoh seperti ini sih?" ucap Ray, nadanya sedikit keras,
"Kamu punya kehidupan! Dan tak ada seorang manusiapun yang berhak untuk
mengaturnya! Kalau kamu mau, semua bisa! Kamu cukup bilang..ugh!!"
Cynthia menyingkap tirai, memutus kalimat Ray dengan menempelkan bibir
basahnya di bibir pemuda itu. Ray membiarkan matanya tetap terbuka.
Pemuda itu menyaksikan kedua mata Cynthia yang terpejam, dan sungai air
mata yang menyatu dengan basah air di wajah si gadis. Refleks, Ray
mengangkat kedua lengannya dan memeluk tubuh Cynthia. Gadis itu menarik
kepalanya beberapa saat kemudian.
"Aku cinta kamu! Aku cinta.. aku ngga mau munafik..," isaknya.
Ray memeluk tubuh gadis itu erat-erat. Tak ada nafsu di sana, meskipun
ketelanjangan tubuh mereka saling beradu. Cynthia tersedu di dada Ray,
jemarinya meremas lengan Ray.
Ray membiarkan Cynthia menangis beberapa menit, sampai akhirnya pemuda itu mendorong tubuh si gadis sedikit menjauh.
"Cyn, aku pulang."
Cynthia menyeka matanya dengan punggung tangan.
"Jangan pergi, Ray..," isak si gadis.
"Kalau aku ngga pergi sekarang. Nanti kamu tambah bodoh."
"Aku suka jadi bodoh," bisik Cynthia. Ray menghela nafasnya.
"Semua orang suka jadi bodoh kalau sedang jatuh cinta."
Cynthia tak menyahut, lengannya berusaha merengkuh Ray, tapi pemuda itu
melangkah mundur. Cynthia menatap Ray, dan pemuda itu tersenyum padanya.
"Cyn," ucap Ray, "aku ngga suka cewek bodoh."
"Ray.."
"Aku pulang."
"Ray.."
"Kalau sudah pintar, telpon aku di kantor."
"Ray.."
Ray melangkah keluar dari kamar mandi, menutup pintu di belakangnya. Ray
memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia tak suka terlibat
dalam urusan semacam ini. Ia tak pernah menginginkan seorang gadis untuk
jatuh cinta padanya. Ray tak ingin seorang gadis menjadikannya sebagai
penentu dalam memilih jalan hidup. Ray tak ingin menerima tanggung jawab
sebesar itu. Ia tak suka kebodohan yang ada dalam kata cinta.
Ray baru saja selesai mengenakan kemejanya, saat pintu kamar mandi
terbuka. Pemuda itu menoleh dan melihat Cynthia dengan berbalut handuk
tersenyum padanya. Ray membalas tersenyum, melangkah mendekati gadis
itu. Cynthia meraih dasi di tangan Ray, lalu mulai mengalungkannya di
leher si pemuda.
"Mungkin aku akan menariknya, membunuh dirimu, lalu membunuh diriku
sendiri," bisik Cynthia, seraya jemarinya bergerak lembut merapikan
simpul dasi.
"Oh, silahkan saja. Tak ada bedanya antara hidup dan mati. Orang
bersyukur karena hidup penuh warna. Dan orang mati bersyukur karena
warna-warna hidup tak semuanya indah, bahkan terkadang terlalu buruk
untuk dilihat."
Cynthia menekan simpul dasi ke atas, sementara satu lagi tangannya
menarik ujung dasi ke bawah. Ray memejamkan matanya sambil tersenyum.
"Aku serius," desis Cynthia.
"Aku juga," balas Ray berbisik.
"Tapi aku memilih untuk tidak jadi orang bodoh," bisik Cynthia. Dan
ikatan di leher Ray mengendur. Pemuda itu membuka matanya, melihat
senyuman tersungging di bibir Cynthia.
"Cepat sekali berubahnya?" tanya Ray sambil menyeringai.
Cynthia menarik tangannya dan berkata, "Mungkin bodohku membuat aku
pintar. Aku bodoh karena mencintaimu. Kamu tak suka orang bodoh. Jadi
kupikir aku lebih baik tetap berusaha untuk pintar."
Ray tertawa.
"Aku takkan pernah bisa miliki kamu ya, Ray?"
"Ngga."
"Suatu saat nanti?"
"Ngga juga."
"Oh s'well, what sould I do about you?"
"Be smart."
Cynthia meraih bibir Ray dengan bibirnya.
"Jangan pergi sampai siang nanti.." desah gadis itu.
"I won't," bisik Ray, lalu menarik handuk yang menutupi tubuh Cynthia.
Mereka bercinta. Lagi.
Ray terbangun saat jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore.
Pemuda itu menoleh dan mendapati Cynthia berbaring memunggunginya. Ray
tersenyum dan mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut pundak gadis
itu.
"Good bye, lover," bisik Ray. Cynthia tak bergerak.
Ray lalu mengangkat tubuhnya, bergerak selembut mungkin turun dan meraih
pakaian yang berserakan di lantai. Sepuluh menit kemudian Ray sudah
berada di depan gedung apartemen Cynthia. Menatap silhouette gadis itu
di balik jendela, Ray tersenyum. Firasat pemuda itu mengatakan bahwa itu
lah terakhir kalinya ia menginjakkan kaki di tempat itu.
Lenvy, girl with passion
Tetes-tetes air hujan masih juga deras menerpa bumi kala Ray berhasil
menyesakkan tubuhnya di antara kerumunan orang yang berteduh di emper
toko alat-alat olahraga itu. Pemuda itu mengeluh, membersihkan tetes air
yang menempel di wajahnya. Beberapa pasang mata memandangnya dengan
rasa ingin tahu. Ray memang mencolok di antara kerumunan orang itu.
Wajahnya yang bersih tak menunjukkan ciri khas pejalan kaki, begitu pula
pakaian necis yang ia kenakan. Hanya rambut gondrongnya yang membuat ia
tampak sedikit kumuh, namun tetap saja berbeda dengan orang-orang yang
berteduh bersamanya.
Ray mengerti, bahwa beberapa orang masih menyimpan keberadaan jurang
kesenjangan sosial itu dalam hati mereka. Apalagi sejak terjadinya
krisis moneter di akhir 1997. Banyak kejahatan yang terjadi berdasarkan
hal itu. Tak ada yang bisa disalahkan dari pola pemikiran yang demikian,
hanya sistem pemerintahan yang buruk, itu saja, yang membuat perbedaan
begitu mencolok di antara lapisan masyarakat. Yang miskin terjun bebas,
yang kaya cuma terpeleset. Yang kaya melarikan diri, yang miskin
memprotes dengan menaikkan angka kriminalitas. Suatu kewajaran sekaligus
kenyataan yang menyedihkan. Dan Ray tak bisa memungkiri bahwa ia
termasuk salah seorang yang 'cuma' terpeleset gara-gara krisis moneter
tersebut, walaupun ia bukan termasuk yang melarikan diri.
"Permisi, Pak, bisa pinjam korek?" pemuda itu bertanya sambil tersenyum pada salah seorang bapak di sampingnya.
Bapak itu, tentu saja, memandang penuh selidik, namun begitu matanya
bertemu dengan senyum simpatik Ray, si Bapak merogoh sakunya dan
mengeluarkan sekotak korek api.
Ray menerima kotak itu dan sudah bersiap menyalakan rokok yang sudah
terselip di bibirnya, saat seseorang mendesak tubuhnya dan membuat
rokoknya terjatuh.
"Hey!" Ray berseru, lebih pada dirinya sendiri. Pemuda itu membungkukkan
tubuhnya dan memungut batang rokok yang untungnya tidak terkena
genangan air.
"Sial, untung ngga basah. Rokok mahal," gumam pemuda itu, menyelipkan kembali batang rokok itu ke sela bibirnya.
Sikapnya yang wajar, bahkan cenderung kocak membuat beberapa pasang mata yang semula menatap iri menjadi lebih hangat.
"Ini, Pak," ucap Ray, mengembalikan kotak korek api pada Bapak di
sebelahnya, yang menerima sambil tersenyum dan menganggukkan kepala.
Ray menatap tirai hujan yang membatasi emper toko dengan dunia luar.
Lirikannya berusaha menembus tirai tersebut, mengamati mobil-mobil yang
lalu lalang di depan halte bis. Ray berpikir kesal, seandainya saja ia
tadi tidak berusaha melarikan diri dari Rusdi, mungkin ia lebih memilih
menunggu di halte tersebut, bersama dengan rekan-rekannya yang lain.
Tapi tentu saja ia tidak ingin berlama-lama berbincang dengan Rusdi,
pria yang selalu punya semangat berlebih untuk membanggakan dirinya
sendiri itu, yang tak pernah mau mengaku kalah darinya dalam urusan
wanita. Tadi, tepat sebelum Rusdi mulai berceloteh tentang pengalaman
seksnya bersama Ida, yang Ray tahu bahwa hal itu tak mungkin terjadi
karena ialah yang sudah meniduri gadis itu tanpa sepengetahuan siapapun,
Ray melarikan dirinya ke emper toko alat sepatu. Malas benar ia
menanggapi omong kosong Rusdi.
Ray memang begitu, ia sangat membenci orang-orang yang hanya bisa omong
besar tanpa bisa membuktikan omongannya sendiri. Bahkan Ida pernah
berkata,
"Siapa? Rusdi? Gila apa? Orang itu kasar dan menyebalkan kalau diajak bicara. Bukan tipe cowok yang enak diajak kencan."
Padahal kalau dihitung-hitung, Ida bukanlah gadis nomor satu di kantor,
dan mendapatkan Ida bagi Ray jauh lebih mudah dari membalikkan telapak
tangan.
Dari jauh, Ray bisa melihat raut tak senang orang-orang yang berdiri di
sebelah Rusdi. Merasa geli sendiri, pemuda itu menatap arloji di
pergelangan tangannya.
Ini sudah lebih dari lima belas menit, pikirnya dalam hati. Kemana gadis itu?
Senyum Ray mengembang saat melihat sebuah sedan ungu berhenti di halte
bis. Pemuda itu mengangkat tas kulitnya ke atas kepala, dan berlari
menembus tirai hujan. Ray hanya tersenyum sinis, saat melihat Rusdi
menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Pintu mobil terbuka, dan semua orang bermata awas pasti bisa melihat
seraut wajah ayu dengan senyum mempesona di belakang kemudi.
"Ciao, Rus," ucap Ray, memasang seringai terbaiknya.
Rusdi terdengar mendengus, sementara matanya tak lepas dari sosok di
belakang kemudi. Ray sebetulnya ingin memamerkan gadis itu pada Rusdi,
sekedar ingin menyatakan bahwa 'kamu tak ada apa-apanya, boy', namun
kondisi alam tak mengijinkannya untuk berbuat demikian. Begitu Ray
menutup pintu, gadis ayu itu menekan pedal gas.
Bersambung Ke Bagian 2