
Play/Download
Hampir lama kami tidak bercengkrama mesra. Paling-paling pulang kantor
kami janjian di mal atau di suatu restaurant untuk makan. Atau kalau
Papi (suamiku) nggak ada, dia datang mampir menjemputku. Kami tinggal
nyaris satu kompleks di daerah Purwomartani Sleman, di kompleks yang
memiliki pengamanan yang cukup baik.
12 Maret 2018
Walau Papi pergi untuk 4 s/d 7 hari, tidak tiap hari aku dijemputnya di
rumah, kadang dia berangkat duluan pagi-pagi atau paling banter kami
konvoy. Dan dia paling suka mengemudi di belakang mobil Papi.
Katanya,"Secara psikologis lebih enak mengejarmu dari belakang jadi ada
motivasi nih.."
Kemarin siang dia bilang kalau istrinya telpon, tidak bisa pulang,
sehingga dia diminta datang ke Semarang. Ibu adalah manager personalia
di sebuah bank, sementara GM-ku sebelum ke Yogya adalah GM di Semarang.
Wah dia regret. Soalnya hotel lagi penuh. Jadilah mereka tidak bertemu
akhir pekan itu. Dia langsung mengajakku,
"Mami.. Yuk kita main!?" ujarnya mengingat malam berikutnya Papi akan pulang.
"Di tempatmu aja ya?" aku mengangguk setuju.
Jadi malam itu aku masih di hotel. Maklum besok Sabtu, cuma sampai jam
12. Aku keasyikkan dengan notebookku, sampai tiba-tiba mendapat SMS dari
GM menanyakan aku di mana. Dia sendiri baru pulang dari sebuah acara
undangan dan kelihatan lelah sekali. Belum sempat menjawab SMSnya dia
sudah berdiri di pintu kantorku. Sosok gagah tinggi besar 185 cm dan
agak kekar diusianya ke 42 berdiri dengan senyum khasnya dan..
"Eeehh. Belum pulang?" sapanya mesra
".. Khan nungguin Papa," sahutku sekenanya langsung log-off dari pusatceritadewasa.
"Ayo deh. Aku kawal di belakang.." jawabnya seperti biasa"In five minutes. Okay?"
"Yes sir" jawabku dan langsung aku 'rusuh' melipat notebookku dan seterusnya.
13 Maret 2018
Pagi hari dia SMS kalau akan mampir menjemputku. Hari itu aku sengaja
berbusana kesukaannya blus berkerah shanghai biru muda satin dengan
kancing-kancing putih yang berbaris rapih dan lurus dari leher ke bawah.
Kupilih rok abu-abuku. Dan sepatu pemberiannya padaku, haknya tidak
terlalu tinggi karena untuk dipakai kerja. Ketika Grand Corollanya
berhenti di depan rumahku. Aku segera keluar dan mengunci rumah dari
luar.
"Suit, shiuu.. Waduh waduh my honey cantiknya.. dari atas sampai bawah.." sapanya kagum.
"Idiih Papa, ini khan semua Papa yang beliin khan," jawabku manja sambil masuk ke dalam mobilnya.
Hari itu kami sibuk masing-masing. Tiba di rumahku. Aku bikinkan Papa,
Nescafe kesukaannya lalu aku gorengkan pisang goreng kesukaannya. Belum
sempat kami berganti baju. Bahkan masih bersepatu. Kami duduk nonton
DVD, di lantai di atas bantal besar dan di peluknya dari belakang.
Hangat.. Sampai kira-kira jam 18.30, kemudian aku beranjak hendak
membuatkan makan malam. Diikutinya aku ke dapur.. tahu-tahu Papa
melilitkan tali temalinya dengan tali pramuka yang warna putih, ke
payudaraku. Mulai atas dan bawah. 4-5 kali lilitan.
"Paa. Sabar dulu, khan mau masak nih.."
"Biar Papa yang masakin buat Mami juga yaa," lembutnya dia berbisik
hingga telingaku mulai terasa geli, sambil sementara dia simpulkan
ikatan di tubuhku kemudian menarik kedua pergelangan tanganku
kebelakang, menekuknya agak ke atas lalu disambungkan dengan tali yang
sudah mengikat di dada dan lengkaplah tanganku terikat erat oleh Papa.
Dibiarkannya aku berdiri sambil menyaksikan Papa yang sedang menyalakan
kompor. Menuangkan minyak. Kemudian membuat campuran bumbu, menyiapkan
nasi yang sudah ada lalu dituangkan semua ke dalam wajan.
"Nasi Goreng ya Paa.??"
"Betul Mami. sudah lapar khan?" aku hanya tersenyum sambil menunggui Papa masak dengan tangan terikat di punggung.
"Kklikk.!" Papa mengambil gambar dengan Nokia 3650 satu kali, dengan Nokia 6600nya sekali.
"Ah. Paapaa." sergahku malu di photo dalam keadaan terikat.
"Mami tunggu dulu di ruang makan deh" Aku beranjak tinggalkan dia
(memang kakiku tidak diikat) dan berjalanlah aku dengan tangan terikat.
Menuju ruang makan.
Papa segera menyelesaikan masaknya. Membersihkan dapur rumahku, tidak
lama dia mengajakku masuk ke dalam kamar. Kami duduk di ranjang. Lalu
sendok demi sendok aku disuapinya sambil sesekali di sela dengan tawa
candanya serta ciumannya yang hangat dikeningku. Di biarkannya aku di
ranjang usai makan. Namun kakiku yang masih bersepatu dia ikatkan jadi
satu mulai atas lututku. Lalu ada lagi ikatan di pergelangan kakiku.
"Sebentar ya sayang. Nikmati dulu kesendirianmu. Nanti kalau sudah beres
di dapur, pasti Papa segera memelukmu," sambil menghidupkan AC di
kamarku. Tinggallah aku sendirian di kamarku. Dengan tangan dan kaki
terikat erat dalam kemesraan dan rasa ketergantungan yang tinggi dalam
ketidak berdayaan kepada Papa yang mengikatku. Berusaha aku mengatur
dudukku. Kemudian merebahkan kepalaku pada bantal serta mengatur posisi
tubuhku enggak memiring ke kanan, agar tanganku yang terikat kebelakang
tidak perlu tertimpa oleh tubuhku. Karena itu akan membuat tangan ini
cepat kaku atau kesemutan.. Saking lelahnya badan ini maka akupun
akhirnya terlelap..
Sesaat aku terjaga. Aku menoleh kesebelahku. Ternyata Papa tertidur di
sisiku. Bertelanjang dada hanya memakai celana pendek tertidur dengan
tangan yang memeluki diriku.
"Paa..?" Aku berusaha menyapanya tapi yang terdengar ditelingaku adalah,
"Mmphh?" oh.. rupanya Papa telah menyumbat mulutku dengan lakban
peraknya.
"Papaa.. Papa.." dalam hatiku menyadari mulut tersumbat yang menumbuhkan
rangsangan sendiri serta ketergantungan padanya, "cepat-cepatlah
bangun. Biar aku nggak 'terlantar' begini Pa"
Aku terlena dan kembali terlelap saat aku sadari rupanya Papa sudah
terbangun sedang membelai-belai aku. Kemudian dengan 'ganas'nya Papa
mulai menciumi leherku, telingaku wah pokoknya seluruh wajahku tidak ada
yang luput dari ciumannya. Diiringi desah suara dan emosi jiwanya yang
meluncurkan kata,
"Yamo.. (ti amo = cinta) Mami.. Ahh.." berulang-ulang saat dirinya menciumiku habis.
"Mami.. Mmm Maammii.!" desahnya sambil membuka kancing blus shanghaiku
pemberiannya saat ulang tahunku dari bawah lalu ke atas dan menyibaknya
pelan-pelan supaya tidak rusak. Dengan cekatan dia lepaskan kancing
braku yang ada di depan lalu diremas-remas payudaraku dengan lembut,
lambat laun lebih kencang. Puting susuku dimainkan dengan lidahnya,
diisap-isap mesra.
"Mmh.. Mmmh..!" desahku nikmat dan tenggelam dalam kehangatan dan rasa
sayang Papa hingga rasanya aku melayang dengan rangsangannya yang
membuat aku semakin dekat dengan orgasme saking sekian lamanya tidak
merasakan kehangatan laki-laki, karena seringnya ditinggal suamiku
terbang.
Papa kemudian menjelajahi tubuhku dengan ciuman dan lidahnya hingga
keujung kakiku yang masih dia biarkan bersepatu model tali melintang di
pergelangan, yang dia sebut 'sepatu sexy' itu sementara naluri birahiku
semakin meninggi dan kelihatannya Papa tahu gelagatku. Masih di ujung
pergelangan kaki, Papa membuka tali-tali yang menyatukan kedua kakiku
yang masih terikat pada pergelangan, ditariknya dengan mesra celana
dalamku hingga lepas dari kakiku, kemudian mengikatkan kedua kakiku ke
ujung kiri dan kanan tempat tidurku. Tidak dilepasnya rok abu-abuku
olehnya hanya diangkat hingga pinggang dan kembali ujung lidahnya
bermain dari lutut hingga selangkangan, serta merta rangsangannya yang
kuat dan oh. Nikmatnya! Membuat vaginaku mulai basah.. Tanpa malu-malu
Papa yang seakan tahu kebutuhanku detik itu melepas celananya, dan
terlihat penisnya yang sudah sangat menegang itu. Tubuh Papa yang
lumayan kekar itu mulai menghimpit tubuhku yang tak berdaya dalam puncak
kenikmatan.. "Ccrreett.." lakban peraknya yang menyumbat mulutku
dilepasnya,
"Auuwww.!!" teriakku manja lalu Papa mencumbui bibirku, mengulum dengan lidahnya yang menjelajah di dalam mulutku.
"Aaarrgghh.. Papaa.. Jantanku..!" tanpa sadar aku bersuara nikmat saat vaginaku menyambut penis Papa.
Bergoyang keluar masuk dengan kerasnya memberikan kenikmatan yang tidak
dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Mas. Aku memang dalam keadaan
terikat erat tak berdaya. Oleh kebanyakan wanita mungkin dirasakan
sebagai penderitaan, namun bagiku, ini adalah 'penderitaan yang sangat
nikmat'
"Aaawwhh.." kurasakan cairan menyembur deras di vaginaku.
Papa sudah sampai pada ejakulasi dan telah memberi aku kenikmatan
puncak. Memang dengan masalah penyakit kistaku yang belum dioperasi ini,
aku tahu persis hubungan kami tidak meninggalkan resiko apa-apa. Maka
meluncur deraslah cairan sperma Papa memenuhi vaginaku..
"Aaarrgghh!" Kurasakan kenikmatan puncak dari seseorang yang aku cintai
karena perhatiannya dan kehangatannya yang tiada tara. Sungguh aku lupa
keadaanku kini, meski ku terikat erat, tali-tali yang mengikatku ini
kurasakan sebagai sebuah pelukan yang sangat erat dari Papa, yang seolah
enggan melepaskan diriku kembali ke pemilikku yang sesungguhnya.
Lelah kami bercengkrama, lalu akhirnya kami tertidur.. Beberapa jam kemudian
"Paa. Bukain dong tanganku. Saakiitt ni..!"
"Paa." aku berusaha berbisik di telinganya.
Keadaan tubuhku yang belum berubah. Masih terikat tanganku kebelakang.
Mulutku sudah tidak di plester lagi namun kakiku masih terikat erat ke
masing-masing sudut tempat tidurku
"Saayaang. Lepasin ikatanku dong. Mmhh mm aahh!" kucium mesra telinganya.
"Eeerrgghh..!" erang Papa berusaha bangun dari pulasnya.
"Paa." aku berbisik lagi di telinganya.
"Apa Mamii.!?" jawaban saja yang terdengar dan mata masih terpejam.
"Bukain dong. Kesemutan nich..!'
"Oohh..!" Papa akhirnya terbangun.
Duduk semenit. Lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Kakiku. Tak
lupa dia menciumku hangat sebelum semua ikatan ditubuhku dilepasnya. Jam
menunjukkan pukul 4 pagi.. Papa kembali tertidur, sementara aku masih
berbaring berpelukan di dada Papa yang bidang itu. Setengah jam kemudian
aku bangun, langsung mandi keramas membersihkan sekujur tubuhku..
Sementara mandi aku perhatikan bekas ikatan di pergelangan tanganku..
Tersenyum sendiri..
Tahu tahu Papa masuk langsung memeluki aku dengan hangatnya.
"Eh Papa sudah bangun?" kemudian lagi-lagi tanganku diikatnya ke
belakang dengan tali pakaian bathrobeku yang berbahan handuk. Lalu aku
digosoki sabun. Shampoo.. Suatu rasa yang sangat sensual dalam sentuhan
tangannya, aahh..!!
14 Maret 2018
Papa sudah berangkat kembali ke hotel sekitar jam 10, lalu rencana dia
akan pergi ke Semarang untuk menemui istri dan anak-anaknya selama satu
malam. Papi (suamiku) memang kembali hari ini semalam, transit dari
Jakarta. Besok dia akan terbang ke Bali, langsung terbang ke Sydney dan
Melbourne Australia. Mungkin dia akan tiba sekitar jam 7 malam dengan
pesawat terakhir dari Jakarta.
Segera aku beranjak, oh.. sudah jam 1 siang. Tidak terasa setelah tadi
malam. Hari berlalu cepat. Aku meluncur ke Alfa, rencananya memang mau
isi stok lemari es ku dengan makanan biar nanti kalau Papi mau makan,
stok tetap ada. Pikirku. Sempat aku melewati hotelku, hotel kami (dengan
Papa) dari kejauhan aku lihat mobil Papa segera meluncur keluar..
"Miillaa..!" handphoneku berbunyi, itu adalah telpon Papa yang memang ringtonenya adalah suaranya memanggil..
"Hi honey.!" jawabku
"Mau kemana Mamii.!?" suara diseberang.
"Cuma ke Alfa aja kog. Belanja!"
"Aku pulang dulu ke Semarang yaa.."
"Uu.. uuhh!" ungkapku kesal dan manja.
"Kukembalikan dirimu pada pemiliknya hehe hee!" goda Papa.
"Ya sudah hati-hati di jalan ya sayang..!"
"Yamo.. (maksudnya Ti amo)" kataku.
"Miss u sweety. Mmuuaahh!"
"Mmuuahh Papaa..!" telponpun terputus.
Tibalah aku di parkiran Alfa Gudang Rabat. Segera aku masuk ke dalamnya
dan larut dalam keramaian belanja. Saat aku mengendarai Suzuki Escudoku
bergegas kembali ke rumah. Jam digital di mobilku menunjukkan 17.30.
Hemmh.. Empat jam lagi Papi pulang. Pikirku. Keasyikkan belanja membuat
aku lupa akan kejadian semalam.
"Toh semua sudah ku bersihkan.. Sprei sudah kukirim ke laundry. Dan aku
telah mampir untuk mengambilnya.. Dan sprei baru sudah kupasang.. Hemm!"
pikirku dalam perjalanan pulang. Memasuki pekarangan rumahku,
kuparkirkan mobilku.. Lampu rumah dalam keadaan menyala.. Wah Papi sudah
landing nih. Hatiku bersorak. Kumasuk ke dalam rumahku.
"Paapii.." riangku.
"Ehh Mami. Dari mana aja? Tadi Papi telpon nggak di angkat.."
"Ah masa..?" buru-buru aku keluarkan hapeku dari tasku.
"Oh. Aku dari Alfa tadi sama mampir laundry.. Sorry sayang, nggak kedengeran. Rame soalnya di Alfa" jawabku lalu mencumbunya.
"Kog cepat mendaratnya. Bilangnya kemarin last flight?" tanyaku.
"Last flight cancel. Jadi aku nebeng aja sama si Tomo, pas dia bawa
Boeing 737 jadi banyak seat," jelas Papi yang dari wajahnya terlihat
letih.
"Ya sudah. sudah lapar khan. Aku masakin dulu yaa!"
"He eh deh!" Papi assyik memasang DVD terbarunya.
Hariku dengan Papi berlangsung biasa saja tetap dalam kemesraan. Aku
nimbrung ikut nonton dvd dengannya sambil bersandar di perutnya yang
besar dan empuk he.. he.. hee.. Menjelang malam tiba, aku tinggalkan
Papi di ruang tengah karena ngantuk mau tidur.. Segera aku melepaskan
bajuku berniat mengganti dengan dasterku, saat aku melepas BHku..
"Cccreett.. Cccreett.." belum sadar apa yang terjadi tanganku sudah terikat dengan lakban perak.
"Cccreett.." lalu mulutku diplester lakban yang sama.
"Mmmpphh.. Mmmpphh..!" protesku membutuhkan penjelasan Papi.. Dia mendorong tubuhku terduduk di ranjang kami lalu..
"Cccreett.. Cccreett.. Cccreett.." kakiku yang belum sempat melepaskan
sepatunya sejak dari Alfa tadi sudah terikat jadi satu degan lakban
perak itu..
"Wah sejak kapan Papi punya lakban itu??" tak habis aku bertanya.
"Dari mana barang begini?" tanya Papi menunjukkan lakban penemuannya.
"Siapa itu Pa.. Siapa Papa itu? Haahh?" tanya Papi lagi.
"Tadi kamu ketiduran.. Memanggil Papa.. Siapa itu?" (padahal mulutku diplesternya, bagaimana mau jawab??)
"Mmmpphh. Mmmpphh.!" mataku membelalak memprotes hak jawabku yang tersumbat ini.
"Cccreett.!!"
"Aaauuwwhh!!" sergahku kesakitan karena lakban dimulutku dibukanya dengan kasar!
"Papi. Lakban ini aku minta dari engineeringku untuk menempel dus baju
yang sudah robek itu? Kenapa sih Papi ini??" aku menghardik balik..
"Siapa itu Papa..?" Papi seolah tidak menggubris jawabanku.
"Siapa mertuamu Papi??" aku nggak mau kalah, masih banyak akalku saat itu.
"Dia sempat menelponku dan memberi nasihat banyak disaat masa tuanya. Sebenarnya aku sedang mengingatnya." mataku berkaca-kaca.
"Terseraahh!!" Papi kesal dan masih emosi lalu kembali menyumbat mulutku
dengan lakban dan meninggalkan aku di kamar kami, dikuncinya dari luar
sementara dia mungkin tidur di depan televisi di penuhi rasa cemburunya
yang tidak beralasan (padahal sebenarnya beralasan) cuma dia nggak punya
bukti.
Tinggallah aku sendiri di kamarku, terkunci dari luar dan diriku terikat
dengan lakban dalam keadaan telanjang seperti ini, hanya panty yang
tersisa. Bingung aku. Memang aku bisa saja menikmati keberadaan ini,
tapi untuk sendiri di sebuah ruangan. Terkunci. Tak ada ubahnya dengan
penculikan di rumah sendiri. Ngerinya diri ini mengetahui terikat dalam
kemarahan seseorang (meski suami sendiri).
Aku menyadari suatu hal, Papi, suamiku terdidik dalam keluarga yang
mempunyai disiplin ketat. Bapaknya tidak segan menghukum dengan cambuk
atau mengikatnya ke pohon atau kursi saat suamiku waktu itu ketahuan
mencuri uang belanja untuk pergi main game. Hemh inikah caranya. Dia
marah sama aku lalu aku langsung diikatnya. Belum pernah aku
diperlakukan begini sejak hampir 4 tahun kami menikah. Aku lihat Papi
ada potensi untuk mengerti 'kebutuhanku' cuma entah bagaimana cara untuk
bisa membuatnya tahu kalau aku sebenarnya senang dengan ke'terikat'an
dalam arti sesungguhnya. Hanya tidak senang sama sekali dengan keadaan
sekarang, diikat sendirian dan dikurung di kamar terkunci dari luar.
Berusaha aku mengendalikan tubuhku yang terikat (atau terpaket) seperti
ini serta merta mencari posisi agar tubuhku bisa naik semua ke tempat
tidur sambil berharap lakban yang mengikatku bisa terlepas dengan
sendirinya. Oh ternyata erat juga si Papi mengikat dan menghukumku
seperti ini. Dan karena sebenarnya sudah sangat mengantuk, akupun
akhirnya tertidur dalam keadaan yang serupa dengan malam sebelumnya,
namun dengan rasa khawatir yang mencekam.. Takut juga kalau tiba-tiba
Papi pergi membiarkan aku di rumah sendiri, di kamar terkunci, dan
terikat dengan mulut diplester lakban.. Zzz!
Malam semakin larut. Aku melihat jam di sisi tempat tidurku menunjukkan
pukul 3.00 pagi. Sejenak aku tersadar, keadaanku masih seperti tadi,
tanganku terikat oleh lakban kebelakang, dengan kaki yang masih
bersepatu, terikat erat menyatu dan mulut yang tersumbat lakban. Aku
masih tertidur sendiri di ranjang pengantin kami, pelan-pelan aku
berusaha bisa melepaskan diriku dari ikatan-ikatan yang membelengguku.
"Mmmpphh." basah air liurku kelihatannya bisa membantuku melepaskan
mulutku. Demikian peluh di tubuhku diharapkan bisa mengendurkan daya
rekat lakban yang hebat ini. Di kamar yang agak panas hawanya karena
AC-nya lupa dinyalakan.
Malam yang penuh perjuangan ini belum berpihak padaku sehingga saking capainya meronta-ronta melepas belenggu ini, aku tertidur.
15 Maret 2018
Rasanya sudah jam 5 pagi. Agak ribut di kamar. Oh rupanya Papi baru
habis mandi dan tengah berpakaian. Dapat kulihat amarah yang tidak
mendasar itu masih menyelimutinya. Akupun pura-pura tetap tertidur.
Berharap dia melepaskan ikatanku. Namun rupanya cuma mimpi. Papi yang
pagi ini melayani pesawat pertama dari Yogya ke Bali kemudian 5 jam
setelah itu terbang ke Sydney dan Melbourne hanya melemparkan gunting di
bagian lain tempat tidurku kemudian meninggalkan rumah kami ini di mana
istrinya terikat, tersekap sendirian..
Serta merta kugulingkan badanku gulingkan mendekati gunting itu. Memutar tubuhku dalam ketidak berdayaan. Hingga dapat!!
"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson mobil yang kukenal.
"Oh. Papa??" pikirku. Sukacita di hati ini.
Aku berusaha berdiri. Berusaha berjalan, meski langkahku hanya 10 cm
menuju cermin besar yang 2 meter dari ranjangku. Tanganku yang terikat
lakban kebelakang menggengam gunting. Aku berhasil sampai di depan
cermin dengan selamat, tidak jatuh! Kemudian aku berusaha menggunting
lakban itu, sambil menoleh ke cermin namun takut juga melukai tanganku.
"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson Great Corolla Papa bunyi lagi.
Segera aku berusaha dulu melepas mulutku dengan menggerak-gerakkan bibir bawah dan bibir atasku dengan tenaga dari daguku.
"Paapaa..!" Oh aku bisa kembali bersuara. Lakban itu hanya menempel di bibir atasku.
"Klek.. Klek..!" pintu rumah terbuka.
"Hey Mami. Ada apa dengan kamu sayang?" Papa masuk, terkejut habis
melihat keberadaanku, terikat nyaris telanjang semua. Mulut masih
berkumis lakban.
"Papaa.." isak tangisku dan jatuh dalam pelukannya.
Papa menggendongku duduk di ranjang kemudian buru-buru melepas lakban
dimulutku dengan tuntas, kemudian menggunting lakban di tanganku serta
melepas rekatannya dengan pelan dan lembut. Aku langsung memeluknya,
padahal Papa mau buka ikatan (rekatan) di kaki ini.
"Ada apa dengan kamu Sweety. Dibilang rampok nggak ada yang hilang,
kunci jendela nggak rusak? What is going on darling..?" ciuman dan
pelukan Papa membuat rasa takut semalaman pudar sudah.
"Siapa yang membuat kamu begini?" tanya Papa lagi.
"Bilang-bilang dong.. Papa rugi nich..!" seloroh Papa sambil memberikan aku segelas air di dekat tempat tidurku.
Setelah hati ini lebih tenang sedikit.
"Itu si Papi, marah nggak jelas juntrungannya Paa.." aku mengadu.
"Langsung dia ikat aku kaya begini, terus disekap aku di kamar ini, di kunci dari luar" aku masih terisak.
"Ooohh. Kok gitu yaa.. Ya sudah, nanti kamu cerita lagi kalau kamu mau
dan sudah tenang, Papa kaget aja pagi-pagi masuk rumahmu.. Hemh.. Kamu
sexy banget lho!" goda Papa. Aku yang masih dipangkuannya jadi tersipu
malu. Eehh ada yang 'mengeras' pas aku duduki.
"Gih. Mandi dulu sana. Papa bikinin sarapan lalu kita berangkat yuk!" ujarnya seperti biasanya dalam kehangatan yang khas Papa.
Aku segera membuka sepatuku. Membungkus diriku dengan bathrobe lalu
berlalu ke kamar mandi sementara Papa beranjak keluar kamar berjalan
menuju dapur. Kupasang musik lama di hp ku.. Lagunya Ruth Sahanaya:
"Ingin kumilikii, dengan sepenuh hati..
Walauku harus setengah terluka mengharap cintamuu..
Ingin ku sayangii. Tanpa terbagi laagii
Apakah mungkiinn, menjalin kasih bila aku tak tahu bagaimanaa, 'kan mencintai dirimu..
E N D