
Play/Download
Dari bagian 1
Perjalanan itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau
jalanannya macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka
yang menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami
lewati. Aku mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena
demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang
diperlukan. Kepada suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku
berkesempatan memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan
banyak makan sayur dan buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu.
Bagaimana mencuci bakal makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan
terlalu asyik dengan ikan asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang
benar. Perhatikan kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba
ikut melengkapi omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku,
akhirnya dia juga menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada
penduduk itu.
Saat pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi
suara guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih.
Pak Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di
pedesaan yang dingin terasa menerpa tubuhku.
Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai jatuh. Lampu
motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti jarum-jarum
berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya dan lebih
menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan dan
menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.
Hujan memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak
Tanba agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak
terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki
pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau
beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat
jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi
orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang
bersifat kering. Ada 'amben' dari bambu yang tidak luas sekedar cukup
untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian
lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.
"Sini Pak, cukup ini buat berdua,"
Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.
"Ibu kedinginan?"
"Iyalah, Pak.." sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.
Untuk beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang
mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti
dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa
kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan
kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.
Aku nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di
telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku
diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa
damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat
dia merasa senang di dekatku.
Tiba-tiba dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya
mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat
lelah. Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung
malas. Aku cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu
mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban
untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena pakaianku yang
basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat dingin merasakan
bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku. Bahkan kemudian
aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan kecupan itu juga
dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit menghindar.
"Aiihh.." desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.
"Bb.. Bu dokteerr.." desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
"Buu.." kembali desis itu.
Dan aku hanya, "Hhmm.."
Aku nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba
sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku
menyayanginya juga karena adanya rasa 'damai dan terlindungi' saat dia
berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada
seorang lelaki yang begitu 'concern' akan nilai tanggung jawabnya. Aku
menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang
juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.
Adakah aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang
usianya mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh
rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum
pernah kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku?
Sementara aku masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir
dengan halus melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung
membuat darahku berdesir.
Jantungku tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak
pula oleh denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan
pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku
untuk berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan
kiri Pak Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya
merangkul untuk kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba
kemudian mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.
Kemudian juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak
tertahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik
puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini.
Tetapi aku tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku
menggelinjang berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung
disergap rasa dahaga yang amat sangat.
Dengan sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik
leher dan menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis
menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh..
Apa yang telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang
melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..
Seperti burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir
kuat dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru
kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak
ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku
ingin dia benar-benar melumatku habis.
Aku mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya.
Kami saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku
menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya
malam pedesaan itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin
pakaianku mengering karena panas tubuhku kini.
"Mmmhh.." desahnya.
"Mllmmhh.." desahku.
Aku tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak
Tanba merebahkan tubuhku ke 'amben' bambu itu sambil mulutnya terus
melumati bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya
untuk aku bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang
tertimpa bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan
cepat menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora
menggelitik saraf-saraf libidoku.
Kemudian kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak
Tanba sesaat melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian
turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian
mengobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi
kecupan dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku
beranikan menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat
tepian desa ini.
"Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. ".
Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut
pula blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba
menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar
oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan
sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus
selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.
Dia 'cokot'i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit
pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku.
Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan
turun lagi.. Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku
memasuki kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba
lakukan pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama
sekali tak mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.
Dan yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di
seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha
menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi
celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian
atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan
birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.
Sensasi dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih
kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu
membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam
upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya
langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku.
Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp..
Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang
nafsuku.
Aku tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang
siap menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut
agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar
bangkit dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Aku tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak
sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba
memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa
yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya.
Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia
benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.
Sementara itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan
pahaku. Tak memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah
kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi
kemaluanku. Tetapi dia terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan
bertahun-tahun. Dia berbisik dalam parau.
"Bu Dokter, ibu masih perawan?"
Aku sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih
perawan. Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan
Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko
moralku? Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil
sikap. Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.
Dalam posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat.
Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak
menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya
untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela
menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.
Ditengah derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas 'amben' bambu dan
disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari
pintu desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak
menyesalinya. Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul
setelah melihat bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu
tugas-tugasku. Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh
perhatian padaku. Rasa 'adem' dan 'terlindungi' dari sosok dan perilaku
Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga
aku tak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sesaat setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-'gelesot' di
rerumputan dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa
bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.
"Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn.."
Tetapi aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di 'amben'. Bahkan aku
merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali
melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak
Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami
sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba
menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku
untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk
diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku
berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung
menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang
sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan
tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku
secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba
yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan
panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.
Aneh, saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang.
Bahkan bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang
sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali
lagi meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.
"Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,"
Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan 'aduh'.
Dalam keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku
merenungi betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan
pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi
pada desa tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama
suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.
Saat pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena
sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya.
Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan
dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta
tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah
mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang
selalu aku perlukan.
E N D